Sunday 25 December 2011

3 Hal Yang Menyelamatkan

Ada 3 hal yang dapat menyelamatkan kita dari siksa Allah SWT, hal ini berdasarkan sabda Rasul SAW dari sahabat Abu Huroiroh ra.
1.      Rasa Takut pada Allah SWT saat sendiri maupun terlihat orang lain.
Rasa takut pada Allah bisa muncul jika kita mempunyai keimanan yang kuat dan mengenal tentang Allah, pepatah mengatakan “ tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta dan seterusnya..” . Semakin besar keimanan dan pengenalan kita Allah SWT serta terus berupaya dekat pada-Nya, maka semakin besar pula rasa takut kita pada-Nya. Takut jika mata kita dipergunakan untuk melihat hal-hal yang terlarang , takut jika lisan/mulut kita membicarakan aib orang lain, takut jika tangan kita dipergunakan untuk mengambil hak orang lain atau mendzolimi orang lain dengan memukul dan sebagainya, takut jika kaki kita banyak melangkah menuju tempat-tempat maksiat.  Rasa takut itu muncul karena kita yakin dan sadar bahwa semua anggota tubuh kita akan dipertanyakan di pengadilannya Allah SWT nanti, di dunia mungkin kita bisa mengelak terhadap kesalahan yang kita perbuat, namun di akherat mulut kita dikunci dan yang bicara adalah anggota tubuh kita, sebagaimana terdapat dalam surat Yasin (36) ayat 65 yang artinya :
“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.”
Dari perasaan takut pada Allah akan muncul sikap waspada dan hati-hati terhadap segala amal perbuatan dan perkataan, karena Allah selalu mengawasi dan mencatat semua perbuatan kita sekecil apapun itu atau seremeh apapun. Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir (QS Qoof (50):18)

Ada pengawasan yang melekat dari Allah dan para Malaikat-Nya, jika pengawasan manusia seperti orang tua pada anaknya, atasan pada bawahan, KPK pada aparat pemerintah ada keterbatasan begitu pula teknologi seperti cctv, ada hal-hal ataupun saat tertentu mereka tidak dapat mengawasi, sementara pengawasan Allah tak mengenal waktu dan tempat.

Siapakah orang atau golongan yang rasa takutnya pada Allah paling tinggi? para ulama-lah yang rasa takutnya paling besar terhadap Allah SWT karena tingkat pengenalannya pada Allah lebih banyak dibanding orang lain, sebagaimana terdapat dalam Qur’an surat Faathir(35) ayat 28 :
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah ulama
Rasa takut pada Allah saat sendiri lebih tinggi derajatnya dibanding rasa takut yang muncul ketika terlihat orang lain, sebab kecenderungan orang akan lebih takut dan taat peraturan ketika ada yang melihatnya, Karena itu agar rasa takut terhadap Allah selalu terpelihara baik saat sepi maupun ketika terlihat orang lain maka kita harus banyak dzikir mengingat Allah.


2.      Berada di tengah antara kaya dan miskin (Sederhana).
Artinya hidup sederhana dalam penghidupan sehingga tidak melampaui batas, tidak terlalu kaya dan tidak terlalu miskin, sebab seseorang yang terlampau kaya kecenderungannya adalah lupa dan menjauh dari Allah, lupa bahwa hakikat kekayaan yang diperoleh adalah dari Allah SWT dimana sewaktu-waktu Allah ingin mencabutnya amat mudah bagi Nya, hal ini seperti Qorun dimana dengan kekayaannya ia menjadi sombong dan menganggap bahwa kekayaan yang ia peroleh adalah hasil jerih payahnya sendiri tanpa ada unsur Allah di dalamnya (QS Al-Qoshos (28):78). Dan saat ini banyak sekali Qorun-qorun masa kini yang menganggap kekayaannya dan kesuksesannya karena kepintarannya sendiri, skill yang dimiliki tanpa mengingat sedikitpun itu adalah pemberian Allah SWT. Sehingga kekayaan yang dimiliki bukannya membawa rahmat justru mengundang laknat Allah SWT. Begitu pula sebaliknya terlampau miskin juga berbahaya karena banyak orang “menggadaikan” keimanannya demi terbebas dari kemiskinan, seperti banyak terjadi di negeri kita ini, dan ini juga merupakan pekerjaan rumah bagi seluruh ummat muslim agar kejadian ini tidak terus terjadi dengan cara dibantu ekonomi dan dibina keimanan mereka.

3.      Berbuat adil saat senang maupun marah. Imam Nawawi Al-Bantani mengartikannya dengan marah/tidak suka terhadap apa yang Allah marah/tidak suka serta senang terhadap apa saja yang Allah senang padanya. Adil dalam artian bahasa adalah persamaan, dimana dalam Islam seseorang tidak dibedakan berdasarkan garis keturunan atau kekayaaan hartanya, warna kulitnya dan sebagainya, yang membedakan seseorang adalah tingkat ketaqwaannya. Dalam menegakkan keadilan saat senang ataupun terhadap saudara atau kawan itu lebih mudah dibanding menegakkan keadilan pada saat kondisi emosi atau terhadap orang yang tidak disukai.
Sebuah kisah terjadi dimasa kekholifahan Ali bin Abi Tholib, dimana suatu ketika sang kholifah (pemimpin/kepala pemerintahan) kehilangan baju besi yang biasa ia pergunakan untuk perang, dan ternyata ia menemukannya ditangan seorang Nashrani, maka ia pun melaporkannya kepada Hakim yang bernama Syuraih untuk diadakan pengadilan. Maka dipanggil-lah si Nashroni itu oleh Hakim untuk menindaklanjuti laporan dari Kholifah. Dalam persidangan setelah keduanya di mintai keterangan ternyata sang Kholifah tidak mempunyai saksi bahwa yang mengambil baju besinya adalah si Nashroni, maka akhirnya sang Hakim memutuskan bahwa si Nashroni terbebas dari tuduhan, kalah-lah sang Kholifah, dan Ali sebagai Kholifah menerima hasil sidang itu. Justru yang kebingungan adalah si Nashroni (sebenarnya memang ia yang mengambil baju besi itu) ia sebagai rakyat biasa kok bisa terbebas dari hukuman melawan pemimpin, terkagum-kagumlah ia terhadap proses pengadilan dalam Islam yang pada akhirnya mengantarkannya masuk dalam barisan kaum muslimin (masuk Islam).

Zulkarnain Abdul Halim diolah dari Kitab Nasoihul Ibad.
Materi Kajian Dzuhur Selasa 31 Mei 2011 di Masjid Jami’ Al-Ihsan.

No comments:

Post a Comment